Oleh Dr. David Frawley (Pandit Vamadewa Shastri)
"Pencarian jiwa saya menemukan dalam agama Hindu apa yang tidak saya temukan dalam agama Katolik, Buddha dan Eksistensialisme"
Pengantar:
Tulisan berikut ini merupakan salah satu contoh tentang bagaimana seorang non-Hindu khususnya dari latar belakang budaya Barat masuk Hindu. Tulisan ini merupakan petikan dari buku Dr. David Frawley "How I Became a Hindu" yang merupakan satu tulisan dalam buku karangan Satguru Sivaya Subramuniyaswami, editor Hinduism Today : "How to Become a Hindu." Dr. David Frawley adalah Director of the America Institue of Vedic Studies di Santa Fe, New Mexico. Dia juga adalah pengarang terkemuka mengenai ayurveda dan astrologi Weda. Beberapa istilah, nama atau lembaga yang disebut oleh penulisnya akan saya berikan penjelasan singkat supaya kita mempunyai gambaran umum mengenai apa yang dimaksudkan. Penjelasan ini saya ambil dari berbagai sumber, terutama Oxford Companion of World Religion. Bila penjelasan itu justru malah dirasakan mengganggu, bisa diabaikan saya.
NPP
-------------------------------
Dalam kasus saya bukanlah peralihan agama secara cepat seperti menerima Jesus sebagai penyelamat pribadi atau penyerahan diri pada Allah.
Bagian 1
Bukan pula peralihan agama itu sebagai hasil dari upaya terencana untuk mengalihagamakan saya oleh seorang pengkotbah agama yang berbicara mengenai dosa atau penebusan dosa, atau kaum intelektual agama yang mencoba meyakinkan saya mengenai keutamaan dari philsafat atau teologi yang khusus. Peralihan agama ini adalah keputusan pribadi yang terjadi sebagai hasil dari pencarian yang lama, sebuah sentuhan akhir dari pencarian batin yang ekstensif yang berjalan selama bertahun-tahun.
Bagi banyak orang di Barat menjadi seorang Hindu mirip dengan ikut suatu agama suku, agama asli Amerika atau Afrika yang percaya pada banyak dewa dan ritual yang aneh, dari pada beralih agama kepada satu keyakinan dari sebuah agama dunia yang terorganisasi. Menemukan agama Hindu adalah sesuatu yang purba, menyentuh akar-akar lebih dalam dari alam, dimana jiwa bersembunyi, bukan sebagai keyakinan historis sebagai kekuatan misterius yang tak bernama. Ia bukan pula seperti mengambil satu keyakinan monotheistik tetapi sebagai hubungan yang sepenuhnya berbeda dengan kehidupan dan kesadaran dari pada yang disediakan oleh agama Barat kepada kita.
Saya sampai kepada agama Hindu setelah eksplorasi awal dari pemikiran intelektual Barat dan tradisi mistik dunia, sejalan dengan praktek yoga dan Vedanta 1) dan penelitian yang mendalam terhadap Weda-Weda. Dalam proses itu saya bersentuhan dengan berbagai aspek masyarakat Hindu yang sangat luas dan dengan para guru Hindu yang sedikit sekali dikenal oleh Barat, membuat saya memahami makin dalam dari persepsi umum dan miskonsepsi mengenai agama Hindu.
Pengalaman langsung semacam itu, yang cukup berbeda dari pada apa yang telah saya harapkan atau seperti akibat-akibat yang telah disampaikan kepada saya, merobah pandangan saya dan membawa saya pada pendirian saya sekarang. Saya harapkan cerita saya akan membantu orang-orang lain merobah pandangannya tentang agama Hindu sebagai sesuatu yang primitif kepada pemahaman akan keindahan dari tradisi spiritual yang besar ini yang mungkin paling baik menyajikan warisan spiritual kita sebagai satu ras manusia.
Saya selalu memiliki rasa mistis, sejak masa kanak-kanak. Apakah melihat ke langit dan menatap awan-awan atau melihat gunung di kejauhan yang tertutup salju, saya tahu dalam hati saya bahwa disana ada satu kesadaran yang lebih tinggi di balik dunia ini. Saya merasa ada satu misteri suci dan mengagumkan dari mana kita datang dan kemana kita akan kembali setelah persinggahan sejenak dalam planet yang aneh ini.
Saya mempunyai kesulitan mendamaikan rasa mistis ini dengan idea agama yang terkait dengan latar belakang Katolik saya. Kedua orang tua saya tumbuh di peternakan di Midwest dari Amerika Serikat (Wisconsin) dan berasal dari latar belakang Katolik yang kuat. Khususnya keluarga ibu saya sangat saleh dan merupakan pilar dari Gereja dimana mereka tinggal, mengikuti semua aturan gereja dan banyak menyumbang untuk kegiatan-kegiatan gereja. Salah seorang saudara lelakinya menjadi pastor dan seorang missionari di Amerika Selatan, dan dia sangat dihormati, melakukan tugas mulia dan memiliki kedudukan suci.
Patung Jesus yang kami lihat selama kebaktian missa tampak agak mengerikan dan kurang menyenangkan. Tidak ada orang yang ingin melihat kepadanya. Kami diberi tahu bahwa kami telah membunuh Jesus. Kami dikatakan bertanggung jawab atas kematiannya dengan dosa-dosa kita, yang sangat mengerikan di mata Tuhan. Tapi saya tidak pernah mengenal Jesus dan karena konon ia hidup dua ribu tahun lalu, bagaimana mungkin tindakan saya mempunyai suatu akibat bagi dia? Saya tidak pernah sungguh-sungguh bisa menghubungkan diri kepada patung dari seorang penyelamat yang dikorbankan yang menyelamatkan kita, kita yang tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri. Saya juga mulai memperhatikan bahwa kita semua memiliki kelemahan-kelemahan pribadi kita, temasuk para suster yang mengajarkan kami yang memiliki temperamen suka gusar atau marah yang nyata dan tidak banyak memiliki kesabaran. Seluruhnya bukanlah sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan sebagaimana kami telah diberi tahu.
Penjelasan
1). Vedanta berasal dari kata Ved yang artinya pengetahuan dan ant yang artinya akhir (Inggris end) artinya akhir dari pengetahuan, atau lebih tepatnya puncak dari pengetahuan yang telah diverifikasi atau telah dibuktikan kebenarannya, yaitu seperti yang terdapat bagian akhir dari Weda, Upanishad. Namun Vedanta dipahami sebagai puncak dari Weda-weda dalam refleksi yang teratur (dhi sebagai tradisi philsafat dan agama) yang juga terdapat dalam Bagawad Gita dan Brahma Sutra dari Badarayana (yang juga dikenal sebagai Vedanta Sutra) yang dimaksudkan untuk membuat teratur dan selaras berbagai refleksi atau pemikiran dalam Upanishad mengenai hakikat Brahman dan hubungan Brahman dengan keteraturan ciptaan, khususnya kehadiran Brahman yang berlanjut dalam ciptaan yang disebut Atman. Ketiga kitab ini menjadi dasar dari philsafat Vedanta, dan menjadi subyek komentar (bhasya) yang menghasilkan berbagai interpretasi dari Vedanta, misalnya oleh Sankara, Ramanuja, Madhva, dll.
Jadi Vedanta adalah antonim atau lawan dari keyakinan buta dan sinonim dengan pengetahuan yang berdasarkan akal yang telah diverifikasi atau dicek kebenarannya.
Bagian 2
Pada usia lima belas tahun saya mempunyai seorang guru yang istimewa yang mengajarkan di kelas mengenai sejarah kuno yang membuka mata saya mengenai dunia lama. Hal ini mengawali kegemaran saya dengan kebudayaan kuno dan akhirnya membimbing saya kepada Weda-Weda. Saya merasakan bahwa orang-orang di zaman dahulu memiliki hubungan yang lebih baik dengan alam semesta dari pada kita yang hidup di zaman modern dan bahwa hidup mereka memiliki makna yang lebih tinggi.
Pada umur enam belas tahun saya mengalami kesadaran intelektual yang sangat penting. Ia datang sebagai satu pengalaman yang sangat kuat dan secara radikal merobah pikiran dan persepsi saya. Awalnya hal ini sangat mengganggu dan mengaburkan orientasi saya. Sementara semacam ragi intelektual telah berkembang dalam diri saya untuk beberapa tahun, yang satu ini mengakibatkan satu pemutusan yang dalam dari otoritas dan cita-cita dari masa kecil saya dan sisa-sisa dari pendidikan Amerika saya. Dia berawal dari studi-studi yang meliputi pemikiran intelektual Barat dan mula-mula mengantar saya pada persentuhan dengan spiritualitas Timur. Ini menandai satu transisi penting dalam hidup saya. Sepanjang pemberontakan intelektual ini saya tidak pernah kehilangan wawasan bahwa ada satu realitas yang lebih tinggi.
Saya mengkhayalkan diri saya menjadi seorang atheis mistis (a mystical atheist) sebab sekalipun saya menolak ide-ide Bible mengenai Tuhan yang berpribadi (a personal God), saya mengakui satu kesadaran impersonal atau mahluk murni ada dibalik alam semesta ini.
Hukum karma dan proses reinkarnasi yang telah saya pelajari melalui philsafat Timur lebih masuk akal bagi saya daripada dogma-dogma Kristen. Setelah mempelajari sejumlah kitab suci dan buku-buku spiritual dari seluruh dunia, pandangan Kristen mengenai Jesus kelihatan hampir neurotik. Menjadi jelas bagi saya bahwa telah ada banyak sekali maharesi besar (great sages) sepanjang sejarah dan Jesus, betapapun besarnya, hanya salah seorang dari yang banyak dan bahwa ajaran-ajarannya bukan pula yang paling baik. Saya tidak mampu melihat apa yang begitu unik mengenai dia atau apa yang dimiliki oleh ajaran-ajarannya yang tidak ditemukan dengan lebih jelas di tempat lain. Perasaan mistis yang pernah saya miliki dalam agama Kristen sekarang sepenuhnya beralih ke Timur.
Pada awal tahun 1970 di Denver saya menemukan seorang guru lokal yang memperkenalkan saya dengan banyak ajaran-ajaran spiritual. Sementara dari penilaian sekarang ia hanya memiliki wawasan terbatas, dia telah membantu sebagai katalis untuk menghubungkan saya dengan jalan spiritual. Melalui perjumpaan dengan bebagai ajaran spiritual yang dimulainya, saya mengambil jalan yoga sebagai tujuan hidup saya yang utama. Dia membuat saya akrab dengan satu wilayah luas ajaran-ajaran mistik: Hindu, Buddha, Theosophist 2) dan Sufi. Itu meliputi segala sesuatu dari ajaran okultisme dari Alice Bailey sampai Zen, dan satu tempat penting untuk ajaran-ajaran Gurdjieff 3). Saya memahami bahwa ada satu inti dari ajaran batin di balik tradisi agama dunia, satu pendekatan esoterik di balik bentuk-bentuk exoterik 4) mereka.
Pada waktu itulah saya menemukan Upanishad, dimana saya menemukan inspirasi yang sangat besar, dan ia menjadi kitab pavorit saya. Kitab ini menuntun saya kepada berbagai kitab-kitab Vedanta lainnya. Segera saya mempelajari karya-karya Sankaracharya, yang saya baca terjemahannya dengan penuh semangat, khususnya karya-karyanya yang lebih pendek, seperti Viveka Chudamani. Dari berbagai ajaran yang telah saya sentuh Vedanta memberikan suara yang paling dalam. Saya teringat satu kali mendaki sebuah bukit di Denver dengan seorang kawan. Ketika kami sampai di puncak, saya mempunyai perasaan bahwa saya adalah mahluk abadi, bahwa Sang Diri (jiwa) dalam diri saya tidak dibatasi oleh kelahiran dan kematian dan telah hidup dalam beberapa kehidupan sebelumnya. Wawasan Vedantik ini tampak sangat alamiah, tapi teman saya tidak mengerti apa yang saya katakan.
Dengan pikiran saya yang cenderung pada philsafat saya juga mempelajari beberapa sutra Buddhist, khususnya Lankavatara, yang saya lihat secara intelektual sangat mendalam. Sutra-sutra Buddhist membantu menjembatani antara Eksistensialisme 5) yang telah saya pelajari sebelumnya dan tradisi meditasi Timur. Karena saya bertemu dengan semua ajaran-ajaran ini pada usia yang cukup muda sebelum pikiran saya terbentuk secara tetap, saya memiliki keuntungan besar dimana pendidikan Timur ini melengkapi pendidikan Barat saya.
Catatan
2). Theosofy dalam arti luas adalah doktrin mistik dari berbagai pemikir Jerman pada akhir zaman renaisans, terutama Jacob Boehme. Doktrin ini berpendapat bahwa manusia dapat mempuyai pengetahuan tentang Tuhan hanya melalui semacam perkenalan mistikal (mystical acquintance). Dalam arti sempit, thosophy - tepatnya 'Theosophical Society' - adalah satu gerakan yang dibentuk di New York oleh Madam H.P. Blavatsy dan Colonel H.S Olcott pada tahun 1875, untuk mengambil dari kebijaksanaan kuno dan dari wawasan evolusi satu kode etik bagi dunia. Pada tahun 1882, gerakan ini memindahkan kantor pusatnya ke India, dan merobah namanya menjadi Adyar Theosophical Society. Sekalipun dimaksudkan semula untuk menjadi 'ecletic' (mengambil dari berbagai sumber apa yang dirasakannya paling cocok untuk mencapai tujuannya), gerakan ini kemudian semakin banyak mengambil bahan-bahannya dari Agama Hindu. Penganjur paling penting dari gerakan ini adalah Anie Besant, yang memimpin gerakan ini setelah Blavatsky.
3) Gurdjieff, Georgy Ivanovich (1877-1949) adalah seorang penulis dan pernah menjabat Direktur dari 'Institute for the Harmonious Development of Man', di Paris. Lahir di Rusia, Gurdjieff sudah menarik banyak pengikut dari para mahasiswanya ketika ia meninggalkan Moskow (tepat sebelum Perang Dunia I) ke Asia Tengah, Timur Tengah dan Perancis. Gurdjieff menelusuri perkembangan alam semesta dari sejak awalnya sampai zaman modern. Dia berpendapat bahwa makna hidup di dunia ini khususnya hidup manusia pada intinya adalah perobahan diri sendiri melalui satu proses pembelajaran diri sendiri (self study) dan pengalaman yang akan membawa kepada pertumbuhan batin dalam bentuk perobahan qualitatif bagi kesadaran batin. Pada akhirnya mereka akan dibebaskan, menjadi jiwa abadi, yang dalam pandangan Gurdjieff merupakan tujuan semua agama.
Gurdjieff yang mencoba mensintesakan agama Kristen dengan pemikiran philsafatnya sendiri mempunyai pengaruh yang cukup penting pada pemikiran 'gerakan agama baru seperti gerakan New Age dan Rajneeshism (Osho).
4). Esoterik artinya inti atau jiwa satu agama, sedangkan exoterik bagian luar atau badan dari agama.
5). Eksistensialisme muncul di Eropa pada pertengahan abad 19. Philsafat ini mengajarkan bahwa Tuhan tidak ada, atau tidak dapat diketahui dan menjunjung individualitas dan kebebasan. Tekanan diberikan pada dunia transenden dan dunia sehari-hari melalui pengagungan kehendak, ketiadaartian dari eksistensi dan ketiadaan substratum di atas mana nilai-nilai atau kebenaran didasarkan. Eksistensialisme dipelopori oleh Kierkegaard, sebagai reaksi atas rationalisme abstrak dari philsafat Hegel. Eksistensialisme adalah philsafat atheis
Bagian 3
Studi saya mengenai tradisi Timur tidak hanya semata bersifat intelektual tapi juga meliputi percobaan dengan yoga dan praktek-praktek meditasi. Saya mulai mempraktekkan pranayama, mantra dan pelajaran meditasi secara sungguh-sungguh pada musim panas tahun 1990. Ini utamanya datang dari tradisi kriya yoga, yang saya hubungi dalam beberapa cara. Saya temukan teknik ini bekerja sangat kuat untuk menciptakan satu level energi yang sangat halus. Saya dapat merasakan prana bergerak melalui nadis, dengan beberapa pengalaman dengan chakras, dan sebuah perluasan umum dari kesadaran di luar pemahaman ruang waktu yang biasa. Praktek-praktek mantra mempunyai akibat khusus yang sangat kuat pada diri saya. Saya merasa saya sebelumnya adalah seorang yogi Hindu dalam salah satu kehidupan saya sebelumnya, sekalipun sekarang saya merasa hal itu mungkin lebih banyak berupa khayalan dalam pendekatan saya. Keuntungan lain dari pranayama adalah ia telah menghilangkan alergi yang telah saya derita sejak beberapa tahun.
Ia membersihkan dan menjernihkan sistem syaraf saya. Saya mempelajari bahwa praktek-praktek yoga dapat menyembuhkan pikiran dan badan.
Untuk sementara saya pulang balik antara wawasan Buddha dan Vedanta. Intelektualitas Buddha sangat menarik bagi saya, sementara idealisme Vedanta sangat mendesak saya. Logika Buddha mempunyai kehalusan yang jauh melampaui kata-kata dan pemahaman Buddha tentang pikiran memiliki kedalaman yang mengagumkan, membuat psikologi Barat menjadi kerdil. Tapi Vedanta memiliki pemahaman mengenai Mahluk Murni (Pure Being) dan Kesadaran yang lebih selaras dengan dorongan mistik saya yang lebih dalam. Ia merefleksikan jiwa dan aspirasinya yang abadi untuk mencapai Yang Suci yang tampak nyata bagi saya.
Saya merasakan kebutuhan mengenai satu pencipta kosmik (alam semesta) yang tidak dimiliki oleh Buddha. Bukan pula tiran monoteistik tua dengan surga dan nerakanya, tapi Ayah dan Ibu suci yang penuh kasih, seperti Siva dan Parvati dalam agama Hindu. Saya juga menemukan keberadaan Sang Diri yang lebih tinggi (Tuhan) yang merupakan kebenaran yang membuktikan dirinya sendiri. Pendekatan non-ego dari Buddhist menciptakan pemahaman sebagai penolakan atas Sang Diri (Self) yang lebih rendah atau palsu tapi saya lihat tidak ada perlunya membuang Sang Diri sama sekali sebagaimana banyak orang Buddhist melakukannya.
Di antara guru-guru spiritual yang karya-karyanya saya pelajari, yang paling penting terkait dengan pikiran dan ekspresi saya adalah Sri Aurobindo 6). Aurobindo mempunyai keluasan intelektual yang tak bisa ditandingi oleh pengarang manapun yang pernah saya baca. Seseorang dapat berenang di lapangan pemikirannya sebagai seekor ikan paus di laut luas dan tidak akan pernah menemui batas. Ia membuat para intelektual dan para mistikus Barat yang telah saya pelajari jadi kerdil. Dibandingkan dengan para guru India lainnya, ajarannya sangat jelas, modern, liberal dan puitis, tidak dinodai oleh kasta, kekuasaan atau dogma. Wawasan Aurobindo meliputi masa lalu, mengungkapkan misteri dari dunia purba yang telah lama saya cari. Tapi itu juga menunjukkan jalan ke masa depan, dengan visi seimbang dan universal tentang kemanusiaan sepanjang waktu.
Saya mempelajari sejumlah karya Aurobindo, terutama 'the Live Divine', yang mengungkapkan semua rahasia dari philsafat India dari Vedanta sampai Samkhya, Yoga dan Tantra. Dalam buku ini saya menemukan berbagai mantra Rig Weda yang ia pergunakan pada setiap memulai satu bab baru. Saya menemukan hal ini sebagai suatu yang mendalam dan misterius dan menyebabkan saya ingin mempelajari Weda lebih jauh. Dalam melihat secara teliti judul-judul buku Aurobindo, satu buku berjudul 'Hymns to the Mystic Fire' (Kidung untuk Api Mistik) yang merupakan kidung untuk Agni dari Rig Weda terasa sangat sesuai dengan visi puitis saya. Buku ini membawa saya pada buku yang lain, 'Secret of the Weda' yang secara lebih khusus menjelaskan ajaran Weda dan membuka mata saya kepada wawasan atau pandangan Weda bagi saya.
Pada saat itu saya telah menjadi seorang manusia Weda (a Vedic person), tidak hanya sekedar seorang Vedantin. Sementara menjadi seorang Vedantin adalah tingkat pertama dari perobahan batin saya, menjadi seorang Wedik adalah tingkat kedua. Dua transisi ini sangat saling tumpang tindih. Saya mengikuti Weda-Weda dalam konteks Vedanta. Tapi kemudian visi Wedik yang khusus muncul dan mendominasi wawasan Vedanta. Hal ini membawa satu wawasanVedanta yang lebih integral dan lebih luas dan satu wawasan yang terhubungkan dengan puisi dan mantra.
Kemudian pada musim panas tahun 1978 karya Weda saya, yang akan mendominasi sisa hidup saya, petama kali muncul. Saya mendapat inspirasi dari beberapa energi batin ntuk menulis satu kumpulan puisi mengenai fajar dan senja kuno yang mengarahkan saya kembali ke Weda-Weda. Saya memutuskan untuk mempelajari Weda secara mendalam dalam bahasa aslinya, Sansekerta. Saya ingin mengkonfirmasi secara langsung kebenaran pandangan Aurobindo bahwa Weda-Weda memiliki spiritualitas yang lebih dalam dan juga memiliki makna Vedantik. Saya telah mempelajari bahasa Sansekerta sepanjang tahun itu dan telah memiliki kitab Weda dan Upanishad dalam bahasa Sansekerta untuk memulainya.
Bersamaan dengan itu saya juga mempelajari astrologi Weda. Pada mulanya saya belajar astrologi di Ojai pada awal tahun 70an, dimana sebuah pusat Theosofy memiliki bahan-bahan yang bagus mengenai subyek ini. Saya juga menemukan beberapa buku bagus mengenai astrologi Weda. Saya mempraktekkan astrologi Barat selama beberapa tahun, menggunakan astrologi Weda sebagai pembanding, tapi secara perlahan pindah ke pada sistem astrologi Weda. Sejalan dengan pekerjaan saya dalam ayurweda (ilmu kesehatan menurut Weda) pada pertengahan tahun 80an saya memusatkan diri pada astrologi Weda, mengajar di kelas atau kursus mengenai hal ini, mulai dengan mahasiswa ayurweda. Dengan ayurweda dan astrologi saya menemukan pemanfaatan praktis dari pengetahuan Weda yang cocok bagi setiap orang. Kesenjangan antara pekerjaan Weda saya dan mata pencaharian kehidupan saya menjadi semakin terkait.
Saya memusatkan diri pada ayurweda dan astrologi untuk beberapa tahun dan mengesampingkan penelitian Weda saya untuk sementara di latar belakang.
Catatan
6). Aurobindo (1872-1950).Terlahir dengan nama Aurobindo Ghose di Calcutta, dia kemudian dikenal sebagai guru dan pemikir Hindu. Ayahnya sangat dipengaruhi oleh Brahmo Samaj, dan dia memberikan pendidikan Barat kepada putranya, di St Paul School dan King's College, Cambridge, Inggris. Konon ayahnya sangat bersemangat untuk menjauhkan Aurobindo dari segala sesuatu yang berbau Hindu.
Dia kembali ke India pada tahun 1893 dan menjadi pengajar bahasa Inggris di Baroda College. Dipenjara satu tahun karena kegiatannya menentang pemerintah kolonial Inggris, di penjara ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman spiritual. Setelah bebas dari penjara, ia melakukan praktek-praktek yoga, tapi akhirnya ia berkesimpulan bahwa cara-cara klasik yoga terlalu satu sisi; cara-cara itu bertujuan untuk mengangkat seorang yogi pada satu tujuan, sementara menurut pandangannya, teknik yang benar seharusnya mengintegrasikan tujuan itu dalam kehidupan. Dari sini sistemnya lalu dikenal sebagai 'Purna Yoga', atau yoga integral.
Karya-karyanya, diatara banyak buku-bukunya, yang terpenting adalah 'The Life Divine,' yang merupakan sebuah komentar terhadap Bagawad Gita, dan 'The Synthesis of Yoga'.
Bagian 4
Perjalanan saya ke India terjadi sebagai bagian dari pencarian ayurweda. Perjalanan ini meliputi kunjungan ke sekolah-sekolah ayurweda dan perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan ayurweda di Mumbay (Bombay) dan Nagpur, dan juga melihat-lihat ke bagian lain dari negeri ini. Saya juga mengunjungi dua pusat spiritual, pertama ke Pondicheri dan Ashram Sri Aurobindo, kedua ke Ramanashram di kota Tiruvannamalai, satu pola yang akan berulang dalam kunjungan saya di masa depan ke negeri ini.
Saya datang ke Ramanashram untuk menemui Ramana Maharsi 7) dan prakteknya tentang jalan pencarian-Diri (Self-inquiry), yang merupakan metoda untuk mengalami keadaan kesadaran murni non-dual. Apa yang sesungguhnya saya temui adalah Dewa Skanda, putra api, yang meminta penyucian, kematian dan kelahiran kembali kehidupan spiritual. Saya menemukan satu Dewa, bukan sebagai satu citra devosi atau budaya tapi sebagai kekuatan asal (Primordial) dan mengagumkan. Ramana datang kepada saya melalui Dewa Skanda. Saya memahami Ramana sebagai Dewa Skanda, perwujudan dari api pengetahuan.
Datang di Tiruvannamalai saya merasakan kehadiran hebat dari api spiritual, yang juga memiliki wajah dari seorang anak laki-laki dalam saat kemurahan hatinya. Citra seorang anak laki-laki yang membawa tombak, naik terbang dari api, terus muncul dalam pikiran saya. Hal ini mengantar saya pada praktek sungguh-sungguh dari pencarian-Diri yang secara harfiah mirip dengan kematian, sekalipun ini adalah kematian ego, bukan kematian badan. Melewati api tersebut barangkali merupakan pengalaman spiritual saya yang paling sungguh-sungguh dalam hidup saya, sampai pada titik pada saat itu saya berdoa hendaklah hal ini tidak menjadi terlalu kuat! Namun setelah itu saya merasa segar dan bersih, dengan kemurnian dari persepsi yang luar biasa.
Sampai pada saat itu saya hanya memiliki pengertian yang sangat terbatas mengenai peran Dewa-Dewa dalam praktek spiritual, saya hampir sama sekali tidak mempunyai pengetahuan mengenai Dewa Skanda, sekalipun Dia adalah Dewa yang sangat populer di India Selatan dan orang menyaksikan GambarNya ada di mana-mana. Saya belum mengerti hubunganNya yang sangat mendalam dengan Ramana. Karena itu saya hampir kaget sampai pada satu hubungan yang langsung dengan satu indentitas seperti itu, bukan sekedar fantasi tapi satu pengalaman batin yang nyata dan sangat jelas menyusup sampai inti dari keberadaan saya. Proses pencarian diri semacam itu, yang mulai dengan praktek philsafat, dapat dihubungkan dengan satu Dewa dimana personalitas saya ditelan habis, sesuatu yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya dalam ajaran apapun.
Pada waktu itu saya telah mengetahui lebih banyak mengenai Skanda dan Ramana. Skanda adalah inkarnasi dari kekuatan wawasan langsung (the power of direct insight). Ia adalah Sang Diri (the Self, Jiwa) yang lahir dari pencarian-Diri, yang seperti api, bayi batin (inner child) lahir dari kematian ego pada api kremasi meditasi. Bayi ini merupakan pikiran yang tidak berdosa, bebas dari motif-motif yang lebih rendah, yang dapat menghancurkan semua mahluk jahat, kondisi-kondisi kita yang negatif, dengan panah kebijaksanaanNya di luar ketidak-mantapan atau fluktuasi pikiran. Datang ke Tiruvannamalai adalah satu pengalaman dari api batin (tejas) yang adalah Skanda dan Ramana.
Saya merasakan kehadiran Dewa Skanda dengan kuat di pura besar Arunachalesvara di dekat kota. Awalnya pengalaman di pura ini lebih penting bagi saya daripada pengalaman di ashram. Pura Arunachalesvara masih memiliki getaran dari Ramana, yang ketika ia masih anak-anak, dimana ia tinggal dan melakukan tapa ketika ia masih muda dan tidak dikenal orang. Pura ini memiliki kehadiran sucinya sendiri yang telah menumbuhkan banyak maharesi dan para yogi besar.
Pada suatu hari di pura itu saya memutuskan membeli sebuah patung untuk saya bawa pulang dan akan saya taruh di altar pemujaan di rumah saya. Saya menemukan patung Skanda, yang segera saya beli dan saya taruh di tas saya. Seorang dari pendeta pura itu mengetahuai apa yang saya beli dan meminta patung itu, dan saya memberikannya. Dia memegang tangan saya dan membimbing saya ke dalam pura dan melakukan puja di bangunan utama. Dia mulai dari pelinggih Dewi, kemudian pada Siwalingga dan akhirnya pada pelinggih Skanda. Patung saya diletakkannya pada semua murti (patung di masing-masing pelinggih) dan disucikan sebagai bagian dari puja ini. Selama pemujaan ini seolah-olah saya lahir kembali sebagai Skanda.
Pada kunjungan saya yang pertama ke India saya bertemu dengan seseorang yang memiliki pengaruh menentukan pada hidup dan pemikiran saya. Dia bertindak sebagai mentor saya untuk mengenalkan saya ke dalam pemikiran agama Hindu dan masalah-masalah agama Hindu di India dewasa ini. Dr. B.L. Vastha adalah seorang doktor ayurweda bekerja pada pengembangan produk pada sebuah perusahaan ayurwedik di Mumbay. Dalam kaitan itulah saya bertemu dengan dia. Pada waktu itu ia berumur 70 tahun, atau sama dengan umur ayah saya.
Catatan
7). Ramana Maharsi (1879-1950), adalah seorang maharesi Hindu yang mencapai persatuan dengan Brahman pada usia 17, tanpa bantuan atau bimbingan seorang guru. Pengalamannya didorong oleh perasaan akan kematiannya sendiri, yang membawanya pada kesadaran bahwa pada waktu mati, badan mati, tapi ini tidak mempengaruhi jiwa yang berwujud dalam badan. Jiwa tidak dipengaruhi oleh berakhirnya keadaan semantara itu. Kesadaran Atman sebagai Brahman terus bersamanya sebagai kondisi yang tetap, pertama dalam kediamannya yang mutlak (absolute silence) di atas sebuah bukit di Tiruvannamalai, kemudian dalam dialog-dialognya dengan para pencari, memusatkan pada pertanyaan "Siapa kamu?". Sebuah asrama didirikan dan berkembang di sekitarnya di Tiruvannamalai, yang sampai sekarang tetap menjadi tempat tirtayatra.
Bagian 5
Pada tahun 1991, Dr. Vashta mengangkat ide atau mengusulkan agar saya menjadi Hindu secara formal. Saya pikir, mengapa tidak? Saya telah mengikuti tradisi agama ini selama 20 tahun dan bekerja dengan tradisi ini menjadi jalan spiritual dan dedikasi karir saya yang utama. Saya berpikir tentang banyak orang India yang menjadi Kristen mengikuti bujukan dari kemakmuran Barat. Contoh tentang seorang Kristen yang menjadi seorang Hindu akan baik bagi banyak orang Hindu dan akan mendorong kepercayaan diri mereka untuk loyal pada tradisi mereka sendiri.
Mengapa saya tidak menyatakan penghargaan saya dan melakukan hubungan yang lebih formal dengan Hindu Dharma? Secara pribadi, saya tidak begitu suka pada formalitas dan umumnya mengindari segala macam bentuk seremoni. Tapi saya tidak perlu berpikir panjang lagi untuk melaksanakan rencana yang penting ini. Upacara ini juga adalah salah satu cara untuk menciptakan satu identitas baru yang merefleksikan perobahan yang telah saya jalani secara batin selama ini. Dr. Vashta memberi tahu saya bahwa saya sesungguhnya sudah Hindu dalam batin saya dan karena itu upacara luar tidaklah perlu, tapi tindakan ini (upacara) akan sangat dihargai oleh masyarakat Hindu. Saya mengerti. Upacara ini disebut "Suddhi", yang berarti penyucian (purification). Upacara ini singkat dan sederhana, satu ritual puja, yang disebut 'Kumbhabhishekam'. Upacara ini dilakukan di satu ashrama lokal di Mumbai, Masurashram yang pada suatu waktu mempunyai hubungan dengan Arya Samaj 8) tapi pada akhirnya menjadi lebih tradisonal Hindu. Tidak ada k
hotbah.
Tidak ada pengutukan. Tidak ada ancaman atau janji-janji. Tidak ada sumpah untuk pergi ke satu tempat pemujaan tertentu atau mengikuti satu jalan atau tindakan yang telah ditentukan, tapi hanya satu janji untuk mengikuti dharma.
Sementara Dr. Vashta mengorganisasikan peristiwa ini, Avadhuta Shastri, kepala Masurashram, melakukan Puja. Kakaknya, Brahmachari Vishwanath, adalah salah seorang dari pendiri Viswa Hindu Parishad (VHP) 9). Saya mengambil nama Vamadeva dari maharesi Weda Vamadeva Gautama. Shastri berasal dari Avadhuta Shastri. Vamadeva pada awalnya adalah nama Dewa Indra, kemudian juga menjadi nama Dewa Siwa. Jadi nama ini adalah nama yang penting dan kuat, tapi hanya sedikit orang memakainya. Dengan upacara ini saya telah diterima ke dalam masyarakat Hindu sebagai seorang brahmin karena pekerjaan saya. Saya menyadari saya juga adalah seorang ksatriya, seorang prajurit, paling tidak dalam tataran intelekual, menggarap tidak hanya masalah-masalah agama tapi juga masalah-masalah sosial dan politik.
Penjelasan
8). Arya Samaj, sebuah gerakan reformasi Hindu modern yang didirikan oleh Dayananda Sarasvati, pada tahun 1875. Arya Samaj atau masyarakat Arya, menjadi kuat di Punjab; cabangnya di Mumbay (d/h Bombay) didirikan pada tahun1876, mengikuti model Brahmo Samaj (Masyarakat Tuhan) yang didirikan oleh Ram Mohan Roy dan Debendranath Tagore. Penyatuan kedua gerakan ini tidak berhasil karena keyakinan Dayananda atas kebenaran mutlak dari Weda, sementara Brahmo Samaj mengambil sebagian ajarannya dari agama Kristen, Para pengikut Arya Samaj menentang pemujaan murti atau patung, serta ingin menyderhanakan ritual Hindu, dan tujuannya adalah untuk kembali kepada keyakinan dan ritual Weda. Interpretasi Dayananda atas Weda ditemukan dalam bukunya berjudul "Vedabhasya". Para pengikut Arya Samaj tidak mentoleransi pemisahan berdasarkan kasta dalam masyarakat Hindu. Mereka memperkenalkan ide baru untuk mengkonversi orang-orang dari agama lain ke dalam agama Hindu, terutama orang-orang Hindu yang sebelumnya beralih ke agama lain
(rekonversi). Arya Samaj melakukan karya-karya yang tak ternilai harganya dalam melenyapkan ketidak adilan sosial. Arya Samaj dewasa ini menjadi gerakan global yang bekerja di seluruh dunia.
9). Viswa Hindu Parishad (VHP) adalah organisasi Hindu seperti PHDI bagi masyarakat Hindu di Indonesia, yang mencoba memberikan satu ideologi yang sistematik bagi agama Hindu. VHP didirikan pada tanggal 30 Agustus 1964 di Mumbay (PHDI didirikan 23 Februari 1959 di Denpasar, 5 tahun lebih dulu dari VHP). Tujuan VHP adalah : 1.Mengambil langkah-langkah untuk mengkonsolidasi dan memperkuat masyarakat Hindu; 2. Melindungi, mengembangkan dan menyebarkan-luaskan nilai-nilai kehidupan Hindu; 3. Membangun dan mempererat hubungan dengan dan membantu semua orang Hindu yang hidup di luar negeri (luar India).
Ngakan Putu Putra
Sumber : HDNet
Bagaimana Saya Menjadi Hindu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar